Jumat, 20 Juli 2018

Dibalik Taman Lili


DIBALIK TAMAN LILI
Hembusan angin masuk melewati lubang-lubang ventilasi. Semilir angin terasa menggerayangi tubuh Ratri. Membelai, menyentuh tulang-tulang rusuk. Namun, menusuk tajam ke dalam sela-sela tulang tubuh hingga membuat aku terbangun. Hawa dingin pedesaan membuat tulang-tulang tubuh Ratri membeku kaku. Mati rasa, tidak ada daya.
            “Huuu ... dingin banget! Kamu udah bangun. Subuh jam berapa?”
            “Sebentar lagi, 5 menitan lagi dah Tri.”
            “Eergh ... aku kedinginan banget. padahal udah pake selimut tebel ini.”
            “Bangun makanya, biar badannya panas.”
Ratri pun bangun dari tempat tidurnya.
            “Pada masih pules-pules amat ya tidurya. Kamu lagi baca apa Ran?”
            “Baca cerpen.”
            “Cerpen apa?”
            “Tentang seorang nenek yang tinggal sendirian di dalam hutan.”
            “Nenek-nenek?”
            “Iya!”
            Ratri langsung teringat sosok nenek yang tinggal tidak jauh dari pondok yang sedang ia dan teman-temannya tempati. Kemarin sore, saat baru tiba di pondok penginapan, Ratri tidak sengaja melihat sosok seorang nenek berdiri dengan bantuan tongkat tua.
“Ngomong-ngomong, kemarin aku liat ada nenek-nenek di deket pondok.”
“Ya jelas ada kalo nenek-nenek mah.”
“Kamu tau nenek itu siapa.”
“itu kan Mak Ida”
“Iiih ... kalo itu mah aku tau. Bukan Mak Ida. Nenek itu lebih tua dari Mak Ida. Kayaknya dia tinggal di deket sini.”
“Ih udah ah, bangunin yang lain kita solat jamaah dulu.”
Azan subuh telah berkumandang, Ratri dan teman-temannya yang sedang menjadi peserta acara Leadership Camp, segera menunaikan salat subuh.
            Irama gemericik air yang mengalir keluar dari bilah-bilah bambu, membuat suasana hati terasa tenang. Orkestra alam sedang memberikan persembahan terbaiknya pagi itu. Semilir angin bertiup merdu. Jangkrik-jangkrik saling bersahutan. Padi-padi berdansa mengikuti irama alam. Damai terasa pagi itu. Dinginnya air pegunungan membuat semua mata peserta terbuka lebar. Rasa kantuk seketika sirna dengan percikan air wudhu.
“Semuanya rapatkan shafnya. Allahuakbar!”, kata ketua panitia yang menjadi imam salat subuh.
Seluruh panitia dan peserta segera menunaikan ibadah salat subuh.
Sepuluh menit pun berlalu.
“Abis ini kalian kembali ke kamar masing-masing. Terus jam 06.30 WIB langsung kumpul dengan kelompoknya di lapangan untuk sarapan.”
“Baik ka!”, jawab seluruh peserta.
Ratri dan temannya Rana segera menuju kamar. Saat berjalan menuju kamar, Ratri mendengar suara dari belakang dapur.
“Rana berhenti dulu. Coba diem deh, denger ada suara gak?”
“Suara apa? aku gak denger apa-apa.”
“Kayak ada yang lagi main air. Suaranya dari belakang dapur. Liat yuk.”
“Ih, kamu aja gih. Aku gak mau.”
“Kalo itu maling gimana? Ayo liat Ran.”
Dengan perasaan terpaksa, Rana akhirnya menuruti permintaan Ratri untuk menemukan sumber suara yang mencurigakan itu.
            Pintu dapur tertutup rapat, begitu pula jendelanya. Tidak ada satu orang pun ada di dapur. Namun, tiba-tiba suara mencurigakan itu kembali terdengar. Kali ini Rana juga mendengarnya.
            “Tuh ... tuh ... kamu dengerkan Ran?”
            “Iya ... iya aku denger Tri. Kayaknya suaranya dari luar deh Tri.”
Ratri dan Rana mengintip keluar melaui sela-sela sekat jendela. Mereka melihat ada seseorang di luar.
            “Eh itu siapa Tri?”
            “Mana ...?”
            “Itu Tri. Dia kayaknya lagi ngambil sesuatu. Eh engga, dia kayak bawa gayung gitu Tri.”
            “Oh iya. Dia siapa ya? Itu dia jalannya pelan banget. Kalo maling pasti gak sepelan itu. Kita keluar aja yuk.”
            “Eh jangan, udah gak usah kita terusin. Sekarang kita cepetan ke kamar, sebentar lagi mau setengah tujuh nih.”
Dengan wajah yang masih penasaran, Ratri pun mengikuti Rana menuju kamar.
            Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 WIB, semua peserta dan panitia sudah berkumpul di lapangan. Mereka dengan nikmat menyantap sarapan yang disiapkan panitia. Dua lembar roti tawar dengan olesan selai cokelat cukup untuk mengisi energi sebelum memulai kegiatan. Dengan ditemani segelas teh manis yang cukup menghangatkan tubuh. Pagi itu matahari terbit dengan
“Gimana sarapannya? Semoga cukup ya hehehe ....”, kata ketua panitia.
“Oke, sambil siap-siap, yang sarapannya udah selesai segera buat barisan di sebelah kanan saya.”, kata koordinator acara.
Semua kelompok segera mengikuti arahan koordinator acara. Kegiatan hari pertama pun di mulai.
            Kegiatan hari ini, semua kelompok diberikan tugas untuk menyelesaikan misi teka-teki. Mereka harus bisa menemukan barang-barang yang disimpan dalam setiap pos. Barang-barang tersebut berupa berbagai macam bahan makanan dan perlengkapan untuk mendirikan tenda dari kayu. Semua kelompok pun segera bergegas mencari pos-pos sesuai petunjuk yang diberikan.
***
            Waktu istirahat pun habis. Semua peserta harus kembali ke kelompoknya masing-masing. Mereka harus melanjutkan misi mereka. Semua kelompok sibuk dengan misi mereka masing-masing. Ratri dan Rana yang secara kebetulan berada dalam satu kelompok, mereka mengajak teman sekelompoknya untuk mencari pos kedua ke arah yang berbeda dari kelompok lain. Mereka menuju halaman belakang. Ya! Sebuah halaman yang menjadi saksi pertemuan Ratri dan Rana dengan sosok tua yang ditemui pagi hari tadi.
            Siang itu waktu menunjukkan pukul 13.15 WIB. Walaupun mereka berada di dataran tinggi, saat siang hari terik panas matahari tetap terasa menyengat kulit. Suasana pagi dan siang hari sungguh sangat jauh berbeda. Terlihat warga sekitar, umumnya para ibu sedang asyik berbincang-bincang, bercanda gurau sambil memetik dauh teh. Ada juga yang sedang sibuk memetik sayur-sayuran segar. Inikah kehidupan sesungguhnya?
“Ran, masih inget kejadian tadi pagi gak? Tadi kita liat orang itu di sekitar sini kan.”
“Iya Tri masih inget aku.”
“Coba kita sambil liat sekeliling. Siapa tau kita ketemu sesuatu petunjuk tentang orang yang tadi pagi.”
“Oke, tapi jangan lupa dengan tugas kita buat cari petunjuk teka-teki.”
Bermenit-menit mereka sibuk mencari, tiba-tiba salah satu anggota kelompok menemukan sesuatu benda mencurigakan.
            “Temen-temen sini deh liat.”
            “Ada apa Han?”, kata Ratri
            “Liat itu, bagus banget gak sih.”
Ratri, Rana, dan teman-teman sekelompoknya, terkejut melihat ada taman kecil yang sangat indah di belakang halaman pondok. Tanah dengan ukuran panjang tiga meter dan lebar dua meter persegi itu ditanami bunga-bunga dengan warna-warna yang cantik. Taman itu memang tersembunyi karena tertutup tumbuhan ilalang yang cukup lebat.
“Bagus banget tamannya. Apa ini masih bagian dari tanah pondok.”, tanya Hanna.
“Kayaknya bukan deh Han.”
“Terus kalo bukan punya siapa ini taman Tri, bagus banget soalnya. Pasti yang punya taman ini rajin dan pandai merawat tamannya.”
        Secara tiba-tiba, pikiran Ratri langsung tertuju kepada nenek yang dilihatnya kemarin. Ratri juga berpikir bahwa orang yang dia liat tadi pagi adalah nenek itu.
       “Temen-temen gue dapet petunjuk kedua nih.”, kata Ica salah satu      anggota kelompok.
Ratri, Rana, dan Hanna segera kembali ke kelompoknya.
       Namun, saat Ratri menghampiri kelompoknya, Ratri merasa ada yang memandangi dirinya dari kejauhan. Ternyata itu adalah sang nenek. Berdiri di bawah pohon beringin. Kali ini Ratri melihat dengan jelas sosok nenek misterius itu. Tubuhnya yang tegap, kulit keriput berwarna putih langsat, matanya terlihat menatap tegas. Kain batik dan kebaya dengan motif bunga tampak rapi, sama sekali tidak terlihat lusuh sedikit pun. Seolah-olah, nenek itu sangat menjaga kesehatan dan kebersihan dalam kehidupannya.
        Nenek dan Ratri pun saling berpandangan. Walaupun, penuh rasa tanya dalam hatinya, Ratri mencoba tersenyum ramah pada sang nenek. Terkejut! Sang nenek pun membalas senyum Ratri dengan tatapan dan senyuman bahagia, tetapi seperti ada maksud lain dibalik semua itu.
“Ratri ngapain kamu di situ? Sini bantuin angkat barang-barang ini.” teriak Rana.
“Oh iya, sebentar Ran.”
Mendengar teriakkan Rana, nenek itu langsung membalikkan badannya dan pergi.
***
Sore itu suasana desa mulai terasa dingin. Terlihat orang-orang merapikan segala perlengkapan berkebunnya dan bergegas pulang. Burung-burung berkicau saling bersahutan. Terasa suasana yang begitu syahdu sore itu. Suara aliran air sungai yang deras membuat pikiran menjadi tenang, begitu juga rasa lelah pun hilang.
Setelah seharian beraktivitas, Ratri dan seluruh peserta pergi ke sungai untuk membersihkan badan yang berlumuran lumpur. Dinginnya air sungai tidak menjadi halangan bagi mereka untuk berlama-lama main di sungai. Mereka merasa energi yang telah habis, terisi kembali dengan segarnya air sungai.
 “Tri tadi kamu pas di pos dua kamu lagi ngapain? kok tiba-tiba diem gitu.”
“Aku tadi liat nenek-nenek yang bikin aku penasaran itu.”
“Kamu liat Tri? Gimana-gimana rupa nenek itu Tri.”
“Nenek itu masih keliatan sehat, badannya masih tegap, pakaiannya juga rapi banget, gak kotor sama sekali.”
“Oh iya Tri?”
“Iya bener Ran.”
“Adik-adik semuanya sekarang kita kembali ke pondok ya. Tidak ada yang di sungai lagi.” kata koordinator acara.
“Siap ka!”
Seluruh peserta dan panitia kembali ke pondok.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.15 WIB, 15 menit lagi, seluruh peserta harus sudah berada di dalam aula utama untuk bersiap-siap salat magrib berjamaah. 30 menit berlalu, seluruh peserta dan panitia telah berkumpul di aula.  Azan magrib pun berkumandang.
Selesai salat magrib, panitia memberikan waktu luang kepada peserta untuk sekadar berbincang-bincang ataupun istirahat. Ratri dan Rana pun memanfaatkan waktu tersebut untuk duduk di kursi sambil memandangi wilayah sekitar pondok. Saat sedang berbincang-bincang, Mak Ida pun lewat dihadapan mereka.
“Mak Ida, saya boleh tanya sebentar gak. Mak lagi gak sibukkan?”
“Mau tanya apa neng? Engga, mak gak sibuk kok.”
“Mak, mak tau gak nenek-nenek yang suka ada di halaman belakang?” tanya Ratri.
“Nenek-nenek yang mana, di sini banyak atuh neng nenek-nenek.” jawab Mak Ida sambil bergurau.
“Itu mak, nenek yang suka berdiri di bawah pohon beringin itu, yang pakaiannya juga rapi bener mak.”
“Oh itu.”
“Emak kenal sama nenek itu.” jawab Ratri dan Rana dengan ekspresi terkejut.
“Itu Nenek Rosidah. Nenek itu salah satu sepuh di kampung ini.”
“Coba mak cerita dong tentang Nenek Rosidah itu.”
“Nenek Rosidah adalah penduduk asli kampung ini.”
Mak Ida pun menceritakan kisah singkat hidup Nenek Rosidah. Nenek Rosidah adalah penduduk asli kampung Ciendog. Keluarganya sudah tinggal di kampung ini dari zaman penjajahan Belanda. Dia adalah anak keturunan bangsa Belanda. Ibunya menikah dengan pengusaha kaya raya yang bernama Van Dirk. Dia juga keturunan ningrat yang mengalir dari darah ibunya.
Nenek Rosidah menikah dengan seorang laki-laki pribumi bernama Adang yang juga seorang keturunan bangsawan. Mereka menikah dan dikaruniai satu anak perempuan yang sangat cantik. Mereka memberikannya nama Lelie yang artinya bunga lili dalam bahasa Belanda. Namun, saat pernikahannya berusia 20 tahun, suami dan anaknya tewas tenggelam ketika hendak menyeberangi Selat Sunda. Oleh karena itu, Nenek Rosidah membuat sebuah taman bunga yang sangat indah untuk mengenang kematian anak dan suaminya.
“Jadi, taman yang di belakang pondok itu punya Nenek Rosidah?” tanya Rana
“Betul neng. Pondok yang kalian tempati ini juga adalah rumah Nenek Rosidah.”
“Apa?” Ratri dan Rana terkejut mendengar pernyataan Mak Ida.
“Jangan kaget gitu atuh. Nenek Rosidah menyerahkan rumah ini ke pejabat sekitar untuk dijadikan penginapan. Lalu, dia memilih tinggal di gubuk sederhana di halaman belakang dekat taman.”
“Oh jadi begitu ceritanya.”
“Iya neng Ratri. Yaudah Mak balik lagi ya ke dapur.”
“Iya mak, makasih ya mak udah cerita.”
Ratri dan Rana pun kembali ke dalam aula.
***
Hari semakin malam, jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Hawa dingin semakin terasa menusuk tulang-tulang rusuk Ratri. Orkestra alam kembali terdengar, tetapi kali ini pertunjukan dimulai pada malam hari.
“Sebelum kita semua pindah ke lapangan untuk bermalam di tenda. Ada tamu spesial yang akan memberikan sedikit wejangan untuk kita.”
Seluruh peserta bingung, siapa orang yang rela malam-malam begini datang hanya untuk memberikan wejangan kepada mereka.
“Ini dia tamu spesial kita malam ini, Nenek Rosidah.”
Terkejut bukan main Ratri dan Rana melihat tamu spesial yang akan mengisi acara malam itu. Selain keturunan bangsawan, Nenek Rosidah ternyata pribadi yang sangat ramah dan berpendidikan. Nenek Rosidah membagikan pengalaman masa mudanya yang penuh perjuangan. Walaupun dia keturunan bangsawan, Nenek Rosidah tetap rendah hati dan tidak ingin dirinya terlena akan kekayaan yang dia miliki.
Akhirnya, kecurigaan dan rasa penasaran yang mengerayangi pikiran Ratri, kini terbayarkan sudah berkat cerita dari Mak Ida.
x
x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SERIAL FILM PAT A PAT COMO SEBAGAI SARANA EDUKASI ANAK USIA DINI

Pada usia dini merupakan momen tahap perkembangan yang sangat baik bagi anak. Anak-anak lebih cepat dalam menangkap segala sesuatu yang mer...